
Oleh: Julio Leba, SH, MH
(Lawyer & Legal Consultant, Specialist Investment, Banking and Insurance Business)
KORANTIMOR.COM – Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah postingan tentang hukum waris di Indonesia yang menggelitik. Pertanyaannya sederhana yaitu seberapa sadar keluarga kita soal pembagian harta warisan?
Keluarga besar Djarum adalah contoh menarik. CEO PT Djarum, Victor Rachmat Hartono, dalam acara Meet the Leaders di Universitas Paramadina, Juli 2025 lalu, mengungkapkan bahwa sejak usia 12 tahun, anak-anak mereka sudah dididik soal transparansi harta warisan. Mereka juga tahu siapa saja orang kepercayaan keluarga yang harus dihubungi kalau orang tua meninggal.
Prinsipnya jelas yakni kalau keluarga sudah percaya pada seorang lawyer, kepercayaan itu bisa turun-temurun. Begitu pula soal warisan, selain mengikuti aturan hukum, anak-anak perlu diajari satu hal penting — jangan bawa pihak ketiga masuk ke urusan keluarga.
Kenapa? Karena jika ada “wanita simpanan” (baca= ani-ani), dampaknya bukan cuma ke mental anak dan keharmonisan rumah tangga, tapi juga berpotensi bikin sengketa waris jadi ribet di kemudian hari.
Tiga Jalur Hukum Waris di Indonesia
Hukum waris di Indonesia terbagi menjadi Hukum Waris Perdata (KUHPerdata), Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat.
Setiap jalur punya aturan sendiri tentang siapa yang berhak jadi ahli waris dan bagaimana pembagiannya.
Dalam hukum waris perdata, pembagian warisan diatur berdasarkan golongan ahli waris:
Golongan I yaitu suami/istri yang masih hidup, anak-anak sah, dan keturunannya.
Golongan II yaitu orang tua, saudara, dan keturunan saudara.
Golongan III yaitu kakek, nenek, dan seterusnya ke atas.
Golongan IV yaitu paman, bibi, sepupu, hingga derajat keenam.
Golongan yang lebih tinggi otomatis menutup hak golongan di bawahnya.
Pertanyaan klasik yaitu kalau suami punya anak dari hubungan gelap, apakah “wanita simpanan” dan anaknya berhak warisan?
Pertama, kita harus tentukan hukum mana yang dipakai. Kalau beragama Islam, pakai hukum waris Islam. Kalau non-muslim, umumnya pakai KUHPerdata.
Dalam kasus ini, misalnya pasangan tersebut warga negara Indonesia beragama Kristen dan sepakat menggunakan KUHPerdata.
Pasal 852a KUHPerdata jelas menyebut istri sah berhak atas bagian warisan minimal setara bagian anak sah, dengan batas maksimal seperempat dari total harta peninggalan. Status sah sebagai istri memberi hak mutlak (legitime portie), yang juga diatur di Pasal 913 KUHPerdata.
Lalu bagaimana dengan anak dari hubungan gelap? Menurut Pasal 908 KUHPerdata, anak luar kawin yang diakui secara sah oleh ayahnya berhak atas bagian warisan terbatas. Namun pengakuan ini harus dibuktikan sebelum ayah meninggal, salah satunya lewat tes DNA.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 46/PUU-VIII/2010 mempertegas bahwa anak luar kawin punya hubungan perdata dengan ayah biologisnya jika ada bukti ilmiah dan/atau bukti hukum yang sah.
Artinya, tanpa bukti hubungan darah, anak luar nikah tidak punya hak waris. Dan wanita simpanan? Tidak punya hak sama sekali.
Kesimpulan
Hukum waris di Indonesia sebenarnya sederhana. Semua diatur jelas, asalkan jangan mengundang masalah dengan melibatkan “pihak ketiga” dalam rumah tangga. Ani-ani tidak pernah diundang ke meja pembagian waris.
Jadi pesan saya adalah stop jadi wanita simpanan. Bukan hanya merugikan diri sendiri, tapi juga menjerumuskan anak pada posisi hukum yang lemah. ***
Artikel ini diterbitkan ulang dengan izin dari [Julio Leonardo Leba, S.H., M.H.]. Artikel asli berjudul ‘[Hukum Waris di Indonesia Itu Sederhana, Asal Jangan Libatkan Pihak Ketiga (=Ani-Ani)]’ dapat ditemukan di [https://www.korantimor.com/].