
Oleh Julio Leba, SH, MH
(Lawyer & Legal Consultant, Specialist Investment, Banking & Insurance Business)
KORANTIMOR.COM – “Tidak mengulurkan tangan membantu mereka yang tertindas adalah pengingkaran terhadap keadilan; itu adalah pengkhianatan terhadap hak asasi manusia. Jika hari ini kita hanya menjadi penonton atas ketidakadilan, maka besok bisa jadi giliran Anda menjadi korban.”
Peristiwa tragis yang menimpa keluarga Namo bukan sekadar duka, tapi juga tamparan keras bagi nurani bangsa. Prada Lucky Chepril Saputra Namo, putra Sersan Mayor Kristian Namo dan Sepriana Paulina Mirpye, meninggal dunia pada 6 Agustus 2025 di RSUD Aeramo, Nagekeo, NTT. Ironisnya, kematian ini diduga akibat penyiksaan yang dilakukan sesama prajurit.
Kadispenad Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengungkapkan hasil pemeriksaan menetapkan 20 personel TNI resmi menjadi tersangka.
Kasus ini tidak terjadi di medan perang, tapi di dalam barak sendiri. Pelakunya bukan musuh negara, tapi rekan berseragam. Fakta ini menambah catatan kelam dunia militer Indonesia yakni sistem pembinaan dan pendidikan yang keras, budaya senioritas yang brutal, dan lemahnya pengawasan atasan yang membiarkan kekerasan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dan ini bukan kasus tunggal. Sepanjang 2025, sederet tindak pidana berat melibatkan anggota TNI (Tempo, 8 April 2025):
1. Dua anggota TNI dari Kodim 0204/Deli Serdang menembak mati remaja 13 tahun—divonis 2,5 tahun penjara dan dipecat.
2. Prajurit TNI AL membunuh dan memperkosa jurnalis di Banjarbaru.
3. Penembakan sales mobil di Aceh oleh anggota TNI AL—divonis seumur hidup.
4. Pembunuhan seorang wanita di Sorong oleh prajurit TNI AL.
5. Penembakan bos rental mobil di Merak oleh tiga anggota TNI AL.
6. Pembunuhan Prada MZR oleh enam seniornya di Semarang (2023).
7. Penganiayaan mematikan terhadap Sertu Bayu Pratama oleh dua perwira di Timika (2021).
Khusus poin 6 dan 7, pola kekerasannya identik dengan yang dialami Prada Lucky. Dan dalam hampir semua kasus, proses peradilan dilakukan secara tertutup di lingkungan militer. Hasilnya? Citra TNI di mata rakyat semakin runtuh, rasa percaya pada hukum semakin tipis.
Mengapa Harus Peradilan Umum?
Sejak 2005, wacana revisi UU No. 31/1997 sudah bergulir, tapi tak pernah tuntas. Kini, urgensinya tak terbantahkan. Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004 jelas memberi ruang: pelanggaran pidana umum oleh anggota TNI harus diproses di peradilan umum. Langkah ini adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri impunitas yang telah berlangsung terlalu lama.
TAP MPR No. VII Tahun 2000 Pasal 3 ayat (4) huruf a dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI mengatur bahwa prajurit yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum. Pendapat tokoh militer seperti Laksamana Muda TNI N. Tarigan dan Brigjen TNI Bachrudin pun sejalan: tradisi militer tidak boleh menjadi tameng dari pertanggungjawaban pidana. Peradilan militer semestinya hanya menangani pelanggaran disiplin, desersi, atau pelanggaran internal lainnya.
Proses penyelidikan kasus Prada Lucky harus melibatkan pihak independen di luar TNI. Ini untuk menjamin transparansi, membongkar fakta yang sebenarnya, dan menghindari konflik kepentingan yang sering terjadi dalam penanganan internal.
Bila akhirnya kasus tetap disidangkan di peradilan militer, persidangan harus terbuka untuk umum dan diawasi lembaga independen. Ini adalah solusi sementara sampai revisi UU Peradilan Militer benar-benar terwujud.
Penutup: Hukum Tak Boleh Berpangkat
Kita tidak boleh membiarkan seragam dan pangkat menjadi benteng kebal hukum. Keadilan harus berpihak pada korban, bukan pada institusi. Prada Lucky dan para korban lainnya berhak mendapatkan proses hukum yang jujur, terbuka, dan setara.
Diam adalah bentuk persetujuan terhadap ketidakadilan. Dan kita tidak punya kemewahan untuk diam lagi. ***
Artikel ini diterbitkan ulang dengan izin dari [Julio Leonardo Leba, S.H., M.H.]. Artikel asli berjudul ‘[Koperasi Merah Putih: Antara Harapan Besar dan Risiko Gagal Total]’ dapat ditemukan di [https://www.korantimor.com/].